Artikel UGM Terima Penghargaan Terbaik 1 dalam Pembentukan Unit Layanan Disabilitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Dr. Wuri Handayani selaku Ketua Unit Layanan Disabilitas UGM merasa bangga dan bersyukur atas apresiasi dari Belmawa Ristek Dikti yang telah memberikan penilaian terbaik atas kegiatan yang ULD UGM lakukan. Dia menyampaikan dalam pengajuan hibah pembentukan Unit Layanan Disabilitas di Perguruan Tinggi tahun 2024, ULD UGM telah berhasil menyelenggarakan beberapa kegiatan diantaranya melakukan studi banding ke Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya.“Kegiatan studi banding ini untuk mengeksplorasi bagaimana mereka memberikan fasilitasi akomodasi yang layak bagi mahasiswa disabilitas”, katanya di Kampus UGM, Rabu (18/12).
Selain itu telah berhasil pula membuat video jejak inklusif di UGM yang sudah diinisiasi sejak tahun 2006. Pembuatan video ini untuk mendorong UGM menjadi kampus inklusif, dan dilanjutkan dengan pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa Disabilitas tahun 2012 hingga pembentukan ULD tahun 2024. Disebutnya UGM juga telah melakukan asesmen kebutuhan mahasiswa disabilitas guna mengidentifikasi ragam disabilitas mahasiswa. Berbagai kesulitan yang dihadapi dan akomodasi layak yang diperlukan untuk memperlancar proses belajarnya. “Hasil asesmen ini kami kirimkan dan didiskusikan kepada wakil dekan bidang akademik di masing-masing fakultas dan sekolah untuk ditindaklanjuti agar bisa menyediakan akomodasi yang layak. Berikut kami juga melakukan pula menyusun program kerja jangka pendek, menengah dan jangka panjang bagi ULD”, ungkapnya.
Bagi Wuri perhargaan ini menjadi refleksi bagi ULD UGM untuk mendorong inklusivitas di perguruan tinggi. Harapan lainnya dapat menjadi lesson learn bagi kampus lain yang belum memiliki ULD di perguruan tinggi masing-masing. “Kami berharap dapat mengemban amanah pembentukan ULD di UGM sebagaimana tertuang dalam Peraturan Rektor No. 19/2024 tentang ULD, untuk melakukan advokasi, fasilitasi dan asesmen mahasiswa disabilitas di UGM agar mereka dapat mencapai potensi terbaiknya”, terangnya.
Wuri bercita-cita menjadikan ULD UGM sebagai center of excellence mengenai isu disabilitas di Indonesia. Meski begitu, ULD UGM juga menyadari tidak akan mungkin mewujudkan tujuan tersebut sendirian. “Karenanya kami senantiasa berharap dukungan dan masukan dari semua pihak”, ucapnya.
Dia menambahkan ULD memiliki tagline Aspiration, Connection, Innovation dan Inclusion. Aspiration, ULD UGM selalu ingin mendengarkan masukan dari berbagai pihak, dan Connection, ULD sangat memerlukan kerjasama dan koneksi seluas mungkin. “Innovation, kami ingin mengembangkan berbagai inovasi untuk mendukung inklusivitas, dan inclusion, ULD UGM ingin memastikan bahwa semua orang, termasuk penyandang disabilitas terlibat sehingga tidak ada satupun yang tertinggal atau “No one left behind”, imbuhnya.
Meski menerima penghargaan, Wuri mengakui, ULD UGM masih menghadapi sejumlah kendala. Kendala yang masih sering dirasakan adalah masih belum meratanya kesadaran dan pemahaman yang memadai dari dosen, tenaga pendidikan dan mahasiswa non disabiitas mengenai pendidikan inklusif. Pemahaman akan kebutuhan penyandang disabilitas dan akomodasi layak yang disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa disabilitas.
Juga soal infrastuktur di lingkungan UGM yang belum sepenuhnya dapat diakses oleh penyandang disabilitas menjadi kendala dan penghambat kemandirian mahasiswa disabilitas. “Kita perlu sumber daya manusia, dan kenyataan SDM yang terlibat dalam mengelola ULD masih terbatas sehingga belum dapat melakukan layanan secara optimal”, paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto
Artikel UGM Terima Penghargaan Terbaik 1 dalam Pembentukan Unit Layanan Disabilitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel Rektor UGM Resmikan Unit Layanan Disabilitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Tampak hadir dalam peresmian ini Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi, Prof. Dr. Sri Suning Kusumawardani, Country Director of British Council, Me. Summer Xia dan Dr. Wuri Handayani selaku Ketua Unit Layanan Disabilitas.
Ova Emilia mengatakan dengan peresmian Kantor ULD, UGM ingin menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif. Berdirinya ULD UGM merupakan bentuk tanggung jawab dari Universitas Gajah Mada untuk memberikan layanan pembelajaran yang kondusif untuk semuanya. “Apa yang sudah diupayakan hingga hari ini, merupakan bentuk tanggung jawab UGM, dan soal inklusiveness ini banyak sekali salah satunya adalah yang terkait dengan layanan penyandang disabilitas”, katanya.
Ada tiga hal prinsip kenapa UGM berkomitmen dan peduli pada lingkungan yang inklusif dengan berbagai kebijakan. Pertama, pendidikan merupakan hak setiap warga negara tanpa melihat apapun. Masing-masing peserta didik memiliki peluang dan kesempatan yang sama dalam berpengetahuan. Kedua, UGM memberikan penghargaan terhadap keberagaman. Masing-masing adalah unik, dan masing-masing tidak bisa disamakan antara satu dan yang lainnya. “Sehingga apa yang dikatakan kelemahan sesungguhnya bukan sebuah kelemahan dalam arti sebenarnya. Tapi itu merupakan bentuk keunikan yang mungkin memberikan keunggulan dari sisi yang lain. Karenanya keberagaman itu adalah satu kekuatan”, ucap Rektor.
Prinsip ketiga adalah keadilan. Dengan adanya keadilan dalam pendidikan membuat kelompok apapun tidak terpinggirkan ataupun tertinggal dalam pendidikan. “Saya kira nanti layanan ULD ini akan menjadi salah satu bentuk implementasi dari pendidikan inklusif di UGM dengan berbagai macam kegiatannya,” terang Ova Emilia.
Sri Suning Kusumawardani berharap hadirnya ULD sebagai wujud nyata komitmen Universitas Gadjah Mada dalam memberikan layanan yang inklusif dan berkeadilan bagi seluruh sivitas akademika, khususnya teman-teman penyandang disabilitas. Semua pihak menyadari bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap insan, tanpa memandang perbedaan kemampuan fisik, mental, atau sensorik.
Sebagai salah satu perguruan tinggi tertua dan termuka di Indonesia, ujar Suning, keberadaan ULD di UGM ini diharapkan mampu menjadi percontohan bagi perguruan tinggi lainnya di Tanah Air. “Keberadaan ULD bukan hanya simbol dari inklusivitas, tetapi juga menjadi motor penggerak untuk memastikan bahwa semua pihak memiliki akses yang setara dalam belajar, berkreasi, dan berkontribusi di lingkungan kampus”, katanya.
Summer Xia merasa senang bisa menghadiri peresmian Unit Layanan Disabilitas di Kampus UGM. Berdirnya ULD UGM, dinilainya sebagai tonggak sejarah bagi UGM yang terus berkomitmen membuat lingkungan yang lebih inklusif dan aksesibel bagi penyandang disabilitas. “Saya merasa bangga untuk kerjasama ini. Dukungan British Council melalui Grant Sosial Akses UK Alumni membuat inisiatif ini menjadi kenyataan. Dengan dedikasi ibu Wuri memastikan terwujudnya lingkungan inklusif, dan akses layanan untuk mahasiswa disabilitas bisa terwujud dan menjadi harapan,” katanya.
Dengan peresmian Kantor ULD, katanya, membuka peluang keberhasilan yang sama untuk semua mahasiswa di UGM. Dengan unit layanan ini mampu menghilangkan hambatan dan mampu memberdayakan mahasiswa difabel di dalam kampus UGM.
Wuri Handayani selaku Ketua ULD melaporkan UGM saat ini memiliki 48 mahasiswa penyandang disabilitas. Sebanyak 48 mahasiswa terdiri 21 perempuan dan 17 laki-laki dengan berbagai ragam disabilitas. “Ada fisik, kemudian ada tuli, ada netra, dan ada mental. Mereka juga berasal dari berbagai fakultas dan berbagai jenjang pendidikan mulai dari vokasi, sarjana, magister, dan juga program doktor”, ungkapnya.
Ia berharap ULD UGM bisa menjadi center of excellence dalam isu-isu disabilitas baik nasional maupun internasional. Ada empat prinsip yang menjadi tagline ULD UGM. Pertama, adalah aspiration, dan ULD UGM ingin menggali aspirasi dari semua pihak agar ULD bisa maju. Kedua, ULD UGM ingin mendorong connection. ULD bagaimanapun memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak. Ketiga, ULD UGM ingin mengembangkan innovation dalam melayani. Keempat merespon hal-hal yang sifatnya terkait isu-isu disabilitas dengan kebijakan. “Kita ingin menjadi terdepan sehingga pada akhirnya kita akan menuju ke inclusion. Dimana semua pihak tidak akan tertinggal”, paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto
Artikel Rektor UGM Resmikan Unit Layanan Disabilitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel UGM Gandeng Komunitas Difabelzone untuk Mewujudkan Inklusivitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D., Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis sekaligus pembina UKM Peduli Difabel, dalam keterangan yang dikirim ke wartawan, Minggu (6/10) mengatakan UGM siap berkolaborasi dengan Difabelzone untuk meningkatkan peluang bagi para penyandang disabilitas dalam berkarya dan menciptakan UMKM yang dapat bersaing secara luas.
Wuri menuturkan pihaknya menawarkan bantuan dalam pendampigan pemasaran dan pengelolaan laporan keuangan untuk anggita Difabelzone. “Pengelolaan pemasaran serta pembukuan laporan keuangan memiliki fungsi yang krusial bagi UMKM untuk keperluan funding dari pihak eksternal,” ucap Wuri.
Rahmat, salah satu pengrajin batik Difabelzone, yang menyatakan harapannya akan kerja sama dan persaudaraan yang berkelanjutan dengan UGM.
Sekretaris Direktorat Keuangan Dr. Hempri Suyatna, Sekretaris Direktorat Kemahasiswaan UGM, mengatakan kunjungan ini merupakan titik awal dari kolaborasi dan kerjasama UGM dengan Difabelzone. “Lewat kerja sama ini, kita siap mendampingi teman-teman penyandang disabilitas agar sejahtera secara sosial serta finansial,” ujar Hempri.
Seperti diketahui, Difabelzone merupakan komunitas untuk berkembang bagi difabel yang hadir dengan prinsip inklusi untuk mendukung difabel agar dapat mandiri dan produktif melalui kerajinan seni batik. Sejak awal mula didirikannya, yakni pada tahun 2017, Difabelzone bukan hanya wadah untuk merangkul bagi penyandang disabilitas, akan tetapi juga sebagai lapangan pekerjaan dan melatih kemandirian. Melalui kerajinan batik, Difabelzone juga merupakan wadah bagi difabel dan sukarelawan untuk ikut aksi peduli lingkungan.
Selama 7 tahun berproses, Difabelzone telah meraih berbagai prestasi serta mengadakan beberapa pameran dan workshop. Akan tetapi, Difabelzone masih menghadapi berbagai tantangan berupa emosional, pemasaran, finansial, hingga pengelolaan pembukuan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
Hempri menuturkan, adanya kegiatan dan kolaborasi seperti ini, diharapkan sivitas akademika UGM serta masyarakat luas selalu peduli terhadap teman-teman penyandang disabilitas dan terus berusaha untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif untuk semua orang terlepas dari kekurangan fisik mereka baik itu di lingkungan UGM maupun di lingkungan luar UGM.
Penulis : Hanif
Editor : Gusti Grehenson
Artikel UGM Gandeng Komunitas Difabelzone untuk Mewujudkan Inklusivitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel UKM Peduli Difabel UGM Gelar Pertemuan dengan Mahasiswa Baru Penyandang Disabilitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA menyatakan Universitas Gadjah Mada menyambut dengan terbuka para mahasiswa baru UGM penyandang disabilitas. Disebutnya, UGM terus mengalami peningkatan dalam perimaan mahasiswa baru penyandang disabilitas dari tahun ke tahun. Disampaikan Wening, tahun ajaran baru angkatan 2024, Universitas Gadjah Mada menerima 21 mahasiswa baru penyandang disabilitas. Jumlah ini meningkat dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. “UGM memang terus meningkat dalam menerima mahasiswa baru penyandang disabilitas. Jumlah ini belum termasuk mereka yang hidden tidak melapor dengan bermacam pertimbangan dan alasan”, ujarnya di Wellbeing Center UGM Jalan Mahoni Blok C-18 Bulaksumur Yogyakarta, Jum’at (9/8).
Wening menyatakan dengan menerima para mahasiswa baru penyandang disabilitas yang terus meningkat memperlihatkan kampus UGM terbuka untuk siapa saja. Universitas Gadjah Mada memberi kesempatan yang sama karena mereka memiliki hak yang sama untuk bisa kuliah.
Menurutnya orang yang berkuliah di UGM yang terpenting harus bahagia. Kegiatan meet and great untuk mahasiswa baru UGM penyandang disabilitas menjadi acara yang sangat penting karena bisa saling mengenal dan mendekatkan para mahasiswa satu dengan yang lain. “Kita patut bersyukur Unit Layanan Disabilitas di tahun ini mendapat persetujuan dari Senat Akademik dan MWA sebagai unit pelayanan bagi civitas akademika UGM. Semoga dengan ini menjamin warga UGM mendapatkan layanan yang terbaik agar proses belajar mengajar, penelitian dan proses administrasi dapat berjalan dengan baik”, katanya.
Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D, dosen Departemen Akuntansi UGM selaku Pembina Unit Layanan Disabilitas UGM menyatakan hal yang sama. Ia merasa bersyukur dengan pembentukan Unit Layanan Disabilitas UGM yang mendapat pengesahan berdasarkan berdasarkan Peraturan Rektor No. 19 tahun 2024 tentang Unit Layanan Disabilitas. “ULD ini adalah bagian dari UGM yang menyelenggarakan fungsi penyediaan layanan, pendampingan, dan fasilitas untuk penyandang disabilitas”, terangnya.
Wuri menjelaskan bentuk layanan ULD UGM diantaranya berupa asesmen yaitu melakukan analisis kebutuhan akomodasi layak. Akomodasi layak ini meliputi modifikasi dan penyesuaian yang tepat, dan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan dan pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan. “Yang biasa kita lakukan adalah pendampingan, biasanya saat-saat pendaftaran, seleksi, perkuliahan/praktikum, KKN, tugas akhir dan lain-lain. Penelitian dalam isu terkait disabilitas”, paparnya.
Wuri juga merasa bersyukur karena di UGM ada UKM Peduli Disabilitas yang menjadi salah satu pilar dalam layanan ULD. Prinsip dalam memberikan layanan dan interaksi kepada para penyandang disabilitas diantaranya menempatkan mereka dalam kesetaraan (equity), menghargai (mutual respect), pengungkapan (disclosure), kerahasiaan (confidentiality), dan praktik baik (good practice).“Karenanya kita sangat berharap teman-teman Gamada disabilitas memiliki karakter yang kuat. Percaya diri (confidence), mandiri (independent), mengomunikasikan kebutuhan (self-advocacy), kreatif dan kritis (creative and critical thinking) serta inklusif (inclusive)”, imbuhnya.
Agnia Dwi Permana selaku ketua UKM Peduli Difabel menambahkan acara meet and great untuk mahasiswa baru difabel UGM sebagai salah satu Upaya untuk mensosialisasikan berbagai layanan untuk mereka, baik layanan akademis maupun layanan non-akademis.
Agnia menjelaskan keberadaan UKM Peduli Difabel sudah berusia 11 tahun, dan selama itu UKM terus berusaha membantu dan menjaminan teman-teman difabel mendapatkan hak-haknya. UKM memiliki 7 departemen yang dalam perannya aktif berkolaborasi guna meningkatkan awardness bagi pemenuhan hak-hak disabilitas. “Saat ini selain menjalankan advokasi, kami menjalankan dua program yang terus berjalan yaitu Program Bahasa Isyarat dan Program Kastrat on the street”, ucapnya.
Untuk program kastrat on the street, kata Agnia, sebagai program baru UKM Peduli Difabel UGM tahun 2023. Melalui program tersebut, UKM Difabel UGM berupaya untuk mengevaluasi berbagai fasilitas yang ada di fakultas-fakultas di lingkungan kampus UGM. “Kita mengevaluasi apakah fasilitas-fasilitas sudah aksesibel dan inklusif, khususnya yang terkait video yaitu pengambilan take video sebagai sarana berkomunikasi dengan teman-teman difabel”, paparnya.
Dalam kegiatan meet and great juga dilakukan sambung rasa antara mahasiswa dan pimpinan UGM. Tidak sedikit dari mahasiswa difabel menyampaikan berbagai permasalahan dan masukan untuk bisa ditindaklanjuti pihak universitas.
Penulis : Agung Nugroho
Artikel UKM Peduli Difabel UGM Gelar Pertemuan dengan Mahasiswa Baru Penyandang Disabilitas pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel Semangat Siham Penderita Autis Mengejar Mimpi di Fapet UGM pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Begitulah Siham Hamda Zaula Mumtaza. Mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) UGM Angkatan 2019 dari jalur Bidikmisi asal SMAN 1 Jepara, Jawa Tengah.
Siham mengaku didiagnosis menderita autis Asperger sejak SD. Mendengar suara keras atau bentakan menjadi momok baginya. Ia sama sekali tidak suka mendengar suara-suara keras. Maka tidak heran bila sehari-hari Siham lebih banyak beraktivitas mandiri tidak melibatkan banyak teman.
Meskipun demikian, ia tetap menjalani kuliah di Fapet UGM dengan penuh semangat. Siham setiap hari dengan rela menempuh perjalanan kuliah dari daerah Condongcatur ke kampus dengan sepeda.
Sadar tidak sama dengan teman lainnya, ia selalu duduk di bangku depan saat kuliah berlangsung. Dengan memilih cara seperti itu cukup membantunya dalam mengikuti proses belajar di dalam kelas.
Ia cukup senang dengan keberadaan komunitas UKM Peduli Difabel di UGM. Bersama komunitas tersebut ia merasa sangat terbantu dalam menjalani proses perkulihan di UGM.
“Saya masih ingat saat memilih lokasi KKN-PPM, waktu itu saya juga diarahkan dan dibantu teman-teman dari UKM Peduli Difabel,” kata Siham, Jum’at (5/7).
Bersama komunitas UKM Peduli Difabel di UGM, Siham merasa memiliki lingkungan cukup kondusif bagi proses belajarnya. Meski ada kekurangan dalam dirinya, ia merasakan tidak ada kendala saat berada di kampus. Pun dengan yang dirasakan para penyandang disabilitas lainnya yang ada di UGM.
Siham bercerita bahwa dirinya saat ini diujung menjalani perkulihan. Ia mengaku hampir selesai kuliah di UGM, dan tengah menyiapkan diri agar bisa berwirausaha dalam penggemukan kambing atau domba.
Ketua Program Studi Ilmu dan Industri Peternakan, Ir. Tri Satya Mastuti Widi, S.Pt., MP., M.Sc., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., atau yang biasa disapa Vitri, menegaskan sebagai universitas kerakyatan UGM termasuk di dalamnya Fapet UGM selalu terbuka bagi siapa pun yang akan menempuh studi di UGM.
Vitri mengakui dengan kondisi autis Asperger seperti yang diderita Siham maka yang bersangkutan perlu pendampingan dalam proses belajar. ”Anaknya mampu menguasai kata-kata tunggal atau kalimat sederhana, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama untuk menangkap penjelasan panjang dari suatu konsep,” kata Vitri yang juga dosen pembimbing Siham.
Untuk Siham, fakultas juga memberikan dukungan dengan fasilitasi supporting system seperti menyediakan buddy (teman) atau mentor.
“Tidak hanya Siham, ada penderita Autism Asperger lain yang juga mendapatkan pendampingan khusus dari Prodi dan pembimbing. Selain itu, ada mahasiswa tuli dan tunadaksa juga yang saat ini telah lulus,” kata Vitri.
Vitri di beberapa kesempatan juga memberikan sosialisasi kepada civitas lainnya agar memahami kondisi mahasiswa difabel dan turut memberikan dukungan tidak langsung kepada para mahasiswa tersebut. Hal itu bisa dilakukan misalnya dengan menciptakan lingkungan kampus yang ramah dan supportif, seperti menumbuhkan kesadaran dan penerimaan terkait mahasiswa berkebutuhan khusus.
“Pendekatan yang dilakukan terhadap mahasiswa-mahasiswa difabel memang bersifat ‘customized’ tergantung kebutuhan mereka. Komunikasi yang intensif dengan keluarga dan pembimbing akademik mahasiswa-mahasiswa tersebut juga diperlukan sehingga kondisi mereka baik fisik maupun mental selalu terpantau,” pungkasnya.
Penulis: Satria
Artikel Semangat Siham Penderita Autis Mengejar Mimpi di Fapet UGM pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel Kisah Nikita, Penyandang Hard of Hearing dan Minor Cerebral Palsy Lulus dari UGM pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Rabu, 22 Mei 2024 menjadi hari bahagia buatnya. Ia diwisuda bersama 1422 wisudawan wisudawati lainnya pada Upacara Program Sarjana dan Sarjana Terapan Periode III Tahun Akademik 2023/2024 di Grha Sabha Pramana, Bulaksumur.
“Saya bersyukur bisa lulus dan diwisuda dari Program Studi D4 Pembangunan Ekonomi Kewilayahan. Alhamdulilah,” katanya terbata.
Cukup berliku upaya Nikita dalam menyelesaikan studi. Sebagai penyandang hard of hearing dan minor celebral palsy, ia mengaku mengandalkan lip reading atau membaca gerak bibir dalam perkulihan. Visual dan auditori menjadi tipe gaya belajarnya selama 6 tahun 8 bulan.
Ia pun merasa bersyukur karena selama perkulihan para dosen memperlakukannya dengan baik. Para dosen memberi jalan untuk memudahkan mengikuti perkuliahan, terutama terkait dengan listening dalam praktikum bahasa inggris dan tugas-tugas presentasi.
“Para dosen baik, dan memaklumi tulisan tangan saya buruk karena tidak bisa menulis rapi,” akunya.
Nikita mengaku mendapatkan pengalaman berkesan dan tidak akan pernah ia lupakan yaitu saat dirinya mengikuti Kuliah Kerja Nyata. Meski KKN secara online, ia ditunjuk menjadi koordinator mahasiswa tingkat sub unit (kormasit).
Dengan penunjukan itu ia membuktikan bahwa seorang disabilitas mampu menjadi koordinator dan berkomunikasi dengan masyarakat walaupun dalam kondisi pandemi. Tidak hanya itu, iapun selama kuliah aktif berkegiatan di UKM Peduli Difabel untuk memperjuangkan pendirian Unit Layanan Disabilitas yang tidak lama lagi akan diresmikan.
“Para dosen di kampus sebenarnya juga mengajak saya terlibat kegiatan asistensi, seperti akreditasi prodi dan penelitian, dan saya sangat bersyukur dengan banyak aktif di berbagai kegiatan, saya pun berkesempatan mendapat Beasiswa Pertamina Sobat Bumi pada tahun 2019,” terangnya.
Perjalanan Nikita di masa lampau tidak selalu mulus. Saat duduk di bangku kelas XI SMA ia pernah dikeluarkan dari kelas ekonomi pada saat ulangan harian. Hal ini dikarenakan guru pengampu tidak tahu jika dirinya tidak bisa mendengar dan tidak bisa menulis cepat.
Peristiwa ini begitu melukainya dan membuatnya sempat membenci pelajaran ekonomi. Di sisi lain ia munyukai pelajaran geografi yang pada akhirnya menuntunnya memilih Program Studi D4 Pembangunan Ekonomi Kewilayahan UGM.
“Sempat saya benci mata pelajaran ekonomi. Namun seiring setelah kuliah, saya menjadi suka ekonomi. Terima kasih untuk Kak Jesita Mapres FEB angkatan 2016 telah membuat saya sadar bahwa ilmu ekonomi ini amat luar biasa,” ungkapnya.
Nikita terlahir sudah menyandang minor celebral palsy, dan saat duduk di bangku Sekolah Dasar pendengarannya mulai mengalami gangguan karena sakit. Bahkan sewaktu kecil hampir tidak bisa berjalan, dan ia baru bisa berjalan secara normal pada umur 2 tahun.
Meski tinggal di desa Nginggil, Bendo, Sukodono, Sragen, Nikita melalui sebagian pendidikan di kota. Meski berjarak dari rumahnya, kedua orang tuanya mengaku menghendaki seperti itu.
Karenanya ia melalui pendidikan Sekolah Menegah Pertama di SMP IT Az-Zahra Sragen, dan SMA Negeri 1 Sragen. Nikita mengaku selalu disekolahkan orang tuanya di sekolah umum dan tidak pernah di sekolah luar biasa.
“Kendalanya saya didiskriminasi, dan sama teman pernah diejek juga. Karena tidak bisa berolahraga, saya selalu ada tugas tambahan untuk pelajaran olahraga. Untuk teori itu saya bisa, dan sempat masuk SMA favorit yaitu SMA 1 Sragen selama setahun. Tetapi kemudian pindah karena tidak betah dengan perlakuan teman dan guru,” kenangnya bersedih.
Kini lulus dengan IPK 3,37, Nikita berharap mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa melanjutkan pendidikan S2 dengan pembiayaan LPDP. Ia sangat berharap terus bisa berkontribusi untuk masyarakat terutama dalam memperjuangkan hak disabilitas.
Menurut Nikita UGM sudah cukup mampu memberikan layanan yang dibutuhkan mahasiswa disabilitas. Ia mengaku dosennya baik-baik dan suportif yang menjadikannya bisa belajar hal terkait spasial di program studi yang ditekuninya.
Ia pun mampu menemukan banyak teman di UKM Peduli Difabel UGM yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Pada akhirnya ia pun mampu menjalin banyak relasi.
“Sedihnya pernah kehilangan laptop saat mengerjakan tugas akhir. Saya berharap nantinya ada semacam kerja sama antara kampus dengan pemerintah, perusahaan, organisasi terkait penyediaan lapangan kerja untuk fresh graduate disabilitas,” harapnya.
Suripto, ayahnya yang seorang guru dan Eny Muryaningsih, ibunya yang seorang tenaga kesehatan mengucap syukur atas karunia Rahmat Allah Swt. yang menjadikan Nikita mampu menyelesaikan pendidikan dan lulus dari UGM. Keduanya sangat berharap semoga ilmu yang didapatkan bermanfaat, barokah, dan Nikita segera bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
“Sebagai orang tua tentu merasa terharu, bangga melihat Nikita bisa menyelesaikan studi di UGM. Walaupun dengan keterbatasan yang dimiliki masih bisa berkompetensi dalam meraih cita cita. Semoga ini bisa menginspirasi untuk kedua adiknya, Hanifah dan Hanif,” ujar Suripto.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Firsto
Artikel Kisah Nikita, Penyandang Hard of Hearing dan Minor Cerebral Palsy Lulus dari UGM pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel KSE UGM dan PR YAKKUM Meresmikan Cupable Coffe pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Disamping sebagai sarana mempromosikan salah satu bisnis kedai kopi, Cupable Coffe sekaligus sebagai tempat pemberdayaan penyandang disabilitas yang sesuai dengan kepanjangan dari namanya yaitu Cups for Empowering Disabled People.
“Tema yang diusung dalam peresmian Cupable Cafee adalah Aksi nyata teman Difabel, Wujudkan Impian Mereka. Harapannya dapat membawa semangat kebersamaan bagi masyarakat luas,” ujar Juanita Theodora selaku Advisor and Representative Give2Asia Foundation selaku mitra funding, Sabtu (24/2).
Menurutnya, kegiatan ini berpotensi membuka kesempatan modeling baru dalam pengelolaan Cafe yang lebih inklusif. Ia pun merasa salut atas peran Generasi Muda KSE yang aktif turut serta dalam kemajuan Cupable Coffee.
“Terima kasih sudah aktif dalam pemberdayaan difabel melalui kehadiran Cupable Coffee. Semoga model yang dikembangkan dalam Cupable Coffee ini akan jadi percontohan di tempat-tempat yang lain,” ucapnya.
Tampak hadir dalam peresmian Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi DI Yogyakarta, Direktur Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM), Perwakilan Kimia Farma, dan Penerima beasiswa Yayasan Karya Salemba Empat.
Chatarina Sari selaku Direktur Pusat Rehabilitasi YAKKUM menandaskan bisnis kedai kopi membuka kesempatan kerja bagi difabel dengan tidak hanya dalam aspek pengelolaan kafe, namun juga memampukan mereka menggeluti jenis usaha yang lain.
“Kami sudah mendampingi teman-teman difabel dengan menghadirkan banyak pelatihan salah satunya adalah pelatihan barista inklusif. Banyak lulusan yang kami bekali keahlian sehingga mereka mampu menyajikan sajian yang berkualitas, tidak hanya kafe tapi juga angkringan, dan ada juga yang menjadi distributor kopi, mereka banyak yang melihat peluang wirausaha,” tandasnya.
Hengki Purwo Widagdo selaku Sekretaris 1 dan Chief Operating Officer Karya Salemba Empat (KSE) UGM merasa bersyukur dengan peresmian Cupable Coffe. Ia menyatakan pihaknya berharap para penerima beasiswa perlu lebih mengenal isu dan kondisi sosial yang ada dalam masyarakat.
Dia sangat berterima kasih kepada para penerima beasiswa KSE yang terlibat dan membantu peresmian Cupable Coffe. Project ini telah berlangsung selama 2 bulan, namun prosesnya sudah bertahun-tahun.
“Melalui YAKKUM, kita diperkenalkan Bank Sampah di Kulon Progo yang dikelola teman-teman disabilitas, yang selaras dengan pendekatan kami untuk mengedepankan semangat saling berbagi,” tutur Hengky.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Di Yogyakarta, Budhi Wibowo, menambahkan Dinas Sosial sangat mendukung kegiatan dan keberadaan Cupable Coffee. Diharapkan agar semangat pemberdayaan terus dijalankan bersama para difabel.
“Yang kita lakukan saat ini adalah upaya nyata dalam menerjemahkan pemberdayaan. Kita bekerja bersama dengan teman-teman difabel bukan bekerja untuk difabel. Jadi, mereka terlibat dalam satu kesempatan,” ungkapnya.
Budhi Wibowo mengakui kesempatan itu tidak muncul begitu saja. Dari mereka harus ditunjukkan bahwa mereka punya kemampuan bukan hanya sekedar dikasihani karena istilah difabel sebenarnya mengandung arti bukan tergantung.
Cupable Coffee telah hadir meramaikan kancah perkopian Indonesia sejak tahun 2017. Sejak awal berdirinya Cupable Coffee mengusung pesan tentang pemenuhan hak dan pemberdayaan difabel, termasuk dalam hal ketenagakerjaan agar siapapun mendapatkan hak untuk bekerja tanpa diskriminasi.
Eko salah satu barista tuna daksa di Cupable Coffee menuturkan banyak pengalaman menarik dengan kondisinya menjadi pekarya. Menjadi barista selama 5 tahun, telah banyak yang ia lalui ketika beririsan dengan para pengunjung kafe.
“Awalnya pengunjung bertemu dengan teman-teman disabilitas mungkin mereka rada kaget atau gimana. Tapi setelah beberapa kali ngobrol, lama-lama biasa aja bahkan kami telah mengubah mindset,” ucap Eko.
Dengan pengalamannya, ia pun memiliki harapan untuk teman-teman difabel dalam memandang masa depan. Ia sangat berharap teman-teman difabel untuk tidak patah semangat atau rendah diri.
“Untuk teman-teman khususnya disabilitas, saya berharap terus berjuang meraih cita-cita dan harapan-harapnnya. Belajar dengan sungguh-sungguh dengan bidangnya masing-masing. Meyakinkan diri dengan apa yang kita lakukan dan pelajari, disertai ketulusan hati pasti menjadi berkah walaupun dalam prosesnya tidak mudah,” papar Eko.
Karya Salemba Empat adalah yayasan beasiswa yang ditujukan kepada mahasiswa di banyak perguruan tinggi. Paguyuban KSE UGM merupakan salah satu paguyuban perkumpulan penerima beasiswa dari yayasan tersebut.
Penulis : Agung Nugroho
MBKM
IKU 2 Mahasiswa Mendapat Pengalaman di Luar Kampus
Artikel KSE UGM dan PR YAKKUM Meresmikan Cupable Coffe pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel Dukung Pencapaian SDGs, FIB UGM Adakan Program Pengayaan Bahasa LPDP Batch I Tahun 2024 pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Pembukaan Program Pengayaan Bahasa LPDP oleh Dekan FIB UGM, Prof. Dr. Setiadi, M.Si., berlangsung di Gedung Soegondo Ruang 709 Lantai 7 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Selasa (20/2).
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr. Nur Saktiningrum, S.S., M.Hum., menyampaikan program pengayaan bahasa kerja sama dengan LPDP sudah berjalan cukup lama. Program ini dilaksanakan salah satunya bertujuan untuk mendukung pencapaian poin 4 SDGs yang berkaitan dengan Pendidikan Berkualitas.
Hanya saja untuk kali ini dinilai sangat istimewa karena dibuat kelas khusus bersama dengan teman-teman difabel. “Terus terang ketika diberi amanah itu kita sempat berpikir mampu tidaknya. Karena kalau 1 atau 2 mahasiswa disabilitas kuliah di kelas-kelas reguler itu sudah biasa untuk kita,” ujar Nur Saktiningrum.
Untuk kali ini, mereka yang berkebutuhan khusus masing-masing berbeda. Ada yang disabilitas karena kondisi fisik, namun ada juga yang harus berkebutuhan khusus untuk sosial, kondisi psikologis dan lain-lain.
Bagi Nur Saktiningrum kondisi ini tentunya menjadi tantangan tersendiri dan FIB UGM. Sebagai tantangan maka segala sesuatunya harus dipersiapkan dan FIB UGM sudah mempersiapkan sejak lama.
“Sebagai bentuk persiapan kita pun meminta dari Unit Pelayanan Disabilitas UGM untuk meninjau fasilitas. Kita pun melakukan berbagai perbaikan atas berbagai usulan dari Unit Pelayanan Disabilitas UGM,” terangnya.
Dr. Aprillia Firmonasari, S.S.,M.Hum., D.E.A, Koordinator Foreign Languages Learning Service, menambahkan sebanyak 37 peserta Program Pengayaan Bahasa ini terdiri dari 12 peserta disabilitas dan akan belajar IELTS selama 6 bulan. Sedangkan 25 peserta lainnya merupakan peserta yang akan belajar Toefl selama 4 bulan.
“Ini merupakan para peserta hasil seleksi LPDP yang diikuti ribuan peminat. Mereka yang mengikuti IELTS ini nantinya akan meneruskan studi magister (S2) di luar negeri, sedangkan mereka yang belajar Toefl akan menempuh studi dalam negeri,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
MBKM
IKU 7 Kelas yang Kolaboratif dan Partisipatif
Artikel Dukung Pencapaian SDGs, FIB UGM Adakan Program Pengayaan Bahasa LPDP Batch I Tahun 2024 pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel Yubita Mahasiswa Disabilitas UGM Senang Terima Bantuan Kaki Palsu pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Seperti saat ini ia menerima tawaran bantuan kaki palsu baru dari Dirlantas Polda DIY, Kombespol Alfian Nurrizal S.H.,SIK., M.Hum., dan sejumlah komunitas sosial. Hal ini menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Yubita. Pasalnya, sejak tujuh tahun silam, tepatnya 15 September 2017 gadis ini harus merelakan kaki kanannya untuk diamputasi di RS Orthopedi Solo. Prosedur itu harus ia pilih karena tak ingin tumor menjalar lebih luas ke bagian tubuh lainnya. Kala itu tumor telah menggerogoti telapak kaki hingga bagian betis perempuan asal Desa Termas, Kecamatan Karangrayung, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.
Yubita merasakan sakit akibat tumor tulang menjelang kelulusan dari SD hingga SMP. Selama kurun waktu itu ia terpaksa beraktivitas dengan penyangga kaki/kruk. Setelah amputasi, ia menjalani hari-harinya dengan kaki palsu bantuan dari rumah sakit.
“Setelah lima tahun waktunya untuk ganti kaki palsu lagi itu kan harus mengurus ke rumah sakit di Solo untuk diukur dan sebagainya. Namun, tidak saya lakukan karena waktu itu bapak meninggal dunia,” papar mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia FIB UGM angkatan 2023 ini.
Akhirnya ia menggunakan kaki palsu yang bisa diperolehnya di perajin kaki palsu yang ada di daerahnya. Saat itu ia membeli dengan biaya mandiri. Kaki palsu yang digunakannya saat ini berbeda dari sebelumnya dengan penampilan lebih humanis menyerupai bentuk kaki asli.
“Ya memang lebih nyaman mengguankan yang bantuan dari rumah sakit. Kalau yang sekarang ini tumpuannya kurang stabil suka mleset-mleset,”jelasnya.
Karenanya ia sangat bersyukur saat mendengar ada yang akan memberikan bantuan kaki palsu baru dengan model yang lebih humanis seperti yang awal dipakainya. Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan bantuan kaki palsu baru. Bahkan, ketika ditanya oleh Kombespol Alfian Nurrizal terkait apa saja yang dibutuhkan saat ini ia pun terlihat terdiam beberapa saat seperti tidak percaya menemui momen ini. Lalu, dengan yakin ia pun menjawab membutuhkan kaki palsu baru.
“Saya perlu kaki palsu saja Pak. Karena untuk kebutuhan kuliah seperti laptop dan sepeda sudah difasilitasi oleh UGM,” jelasnya sembari menyampaikan ucapan terima kasih pada Kombespol Alfian Nurrizal yang sudah menawarkan bantuan.
Dirlantas Polda DIY, Kombespol Alfian Nurrizal S.H.,SIK., M.Hum., saat bersilaturahmi menemui Yubita, Kamis (24/8) di Kantor Humas dan Protokol UGM menyampaikan ia mengetahui cerita Yubita dari media sosial. Ia pun merasa prihatin dengan kondisi Yubita sehingga tergerak untuk membantu.
“Kalau membaca cerita Yubita dari info di media sosial saya lihat kegigihan yang luar biasa untuk masuk UGM. Karenanya coba untuk menawarkan bantuan dan mudah-mudahan dengan bantuan kaki palsu baru nantinya bisa membantu berjalan dengan baik dan mendukung Yubita dalam menggapai apa yang dicita-citakan,”papar alumnus Magister Ilmu Hukum FH UGM ini.
Sementara Kepala Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu UGM, Dr.dr. Andreasta Meliala, M.Kes., menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang diberikan kepada Yubita. Ia berharap nantinya apa yang sudah dijalankan Kombespol Alfian Nurrizal bisa menginspirasi masyarakat tergerak melakukan kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Penulis: Ika
Artikel Yubita Mahasiswa Disabilitas UGM Senang Terima Bantuan Kaki Palsu pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Artikel Inspiratif, Kisah Aulia Difabel Netra UGM Jadi Sutradara Film pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>Buktinya, ia mampu mencatatkan sederet prestasi baik dalam bidang akademis maupun non-akademis. Tahun 2022 lalu ia berhasil diterima masuk UGM di Departemen Sastra Indonesia. Di tahun 2023 ini ia mensutradarai film pendek berjudul Masih Tanda Tanya yang tayang perdana pada bulan Maret 2023 lalu dan telah diputar di berbagai komunitas pencinta film tanah air.
Aulia merupakan gadis yang mulanya terlahir normal. Namun, di usia lima tahun ia mengalami sakit parah yang menyebabkan ia kehilangan pengelihatan. Hampir 20 tahun menjalani hidup tanpa bisa menikmati indahnya dunia yang penuh warna, namun ia mampu memberikan warna bagi dunia lewat karyanya.
Bagi penyandang disabilitas netra sepertinya, menjadi sutradara film bukanlah hal mudah. Sebagai sutradara ia memiliki beban besar apakah sebuah film nantinya bakal diminati penontonnya. Arahan tangannya menentukan para pemain agar berlakon sesuai karakter yang diperankan serta memastikan semua berjalan sesuai rencana dari awal hingga akhir produksi film.
Ia mengakui ada tantangan tersendiri dalam pembuatan film yang harus menggunakan bahasa visual. Kendati begitu, keterbatasan visual yang dimilikinya tak lantas membatasi langkahnya untuk berkarya. Di tengah keterbatasan itu ia bersyukur masih dikelilingi orang-orang baik yang percaya akan potensinya dan mendukung mensutradari film ini.
“Kesulitan ya pasti ada karena keterbatasan visual. Namun, sangat terbantu ada asisten sutradara yang bisa menjadi “mata” saya dan team work yang luar biasa selama produksi film,” jelasnya.
Masih Tanda Tanya ini merupakan film pertama yang disutradari Aulia. Film berdurasi 40 menit ini berkisah tentang sepasang kekasih dimana pihak laki-laki merupakan penyandang disabilitas netra. Di tengah perbedaan fisik ini cinta mereka di uji dengan adanya orang ketiga. Selain menampilkan lika-liku percintaan dua remaja dengan perbedaan fisik, film ini juga mencoba mengungkap sejumlah isu disabilitas.
“Film ini terinspirasi dari kisah teman yang juga disabilitas netra,”ungkapnya.
Perjalanan Aulia menekuni bidang perfilman bermula dari keikutsertaanya dalam sebuah kelas film di tahun 2022. Ia bersama dengan lima rekannya penyandang disabilitas netra kala itu iseng-iseng mengikuti kelas film di Yogyakarta. Kehadiran mereka dalam kelas tersebut sempat dipandang sebelah mata. Bagimana tidak, penyandang disabilitas netra dituntut untuk memproduksi karya yang identik dengan hal-hal berbau visual.
“Saat itu tutornya sempat bingung juga, kenapa difabel netra ikut kelas film. Namun, akhirnya justru mendukung karena melihat kami semangat dan menjadi mentor kami sekarang ini,”jelasnya.
Sebelumnya, pada tahun 2021 Aulia sempat terlibat dalam produksi film Seutas Asa. Ia dipercaya menjadi salah satu pemain dalam film yang juga dibuat oleh temannya penyandang disabilitas netra.
Aulia tidak pernah menyangka bisa mencapai titik ini. Menjadi sutradara film pendek tidak pernah terbesit dalam benaknya, terlebih dengan keterbatasan visual yang dimiliki.
Ia pun mengaku bangga sekaligus senang bisa mensutradari film Masih Tanda Tanya ini. Sebab, kesempatan ini menjadi pengalaman pertama baginya untuk belajar dan berkarya di bidang perfilman.
“Gak nyangka aja bisa jadi sutradara. Saya bisa belajar banyak hal tentang bagaimana proses syuting, belajar manajemen pra hingga paska produksi. Belajar matengin naskah, pengambilan gambar dan juga kerja tim,” paparnya.
Kedepan Aulia berencana akan menulis naskah film lagi dengan terus mengkampanyekan isu-isu inklusifitas khusunya disabilitas lewat film. Ia berharap lewat film bisa menginspirasi banyak orang, tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di Indonesia bahkan dunia.
“Jangan berhenti berkarya. Sebab, berkarya itu tidak mengenal golongan, disabilitas atau bukan. Selagi ada niat kita bisa berkreasi dan yakinlah ada orang-orang yang akan mendukung kita,” pungkasnya.
Aulia merupakan salah satu mahasiswa penyandang disabilitas yang diterima kuliah di UGM. Ia berhasil membuktikan bahwa keterbatasan fisiknya tidak mematahkan asanya untuk terus berkreasi, berinovasi, dan belajar tanpa henti. Kehadiran mahasiswa penyandang disabilitas di UGM menjadi bukti nyata akan komitmen UGM mewujudkan pendidikan yang inklusif, berkeadilan dan merata bagi semua masyarakat. Komitmen UGM ini seleras dengan tujuan pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Penulis: Ika
Foto: Firsto
Artikel Inspiratif, Kisah Aulia Difabel Netra UGM Jadi Sutradara Film pertama kali tampil pada Universitas Gadjah Mada.
]]>